Terima Uang Perdamaian Ratusan Juta, Oknum Perhutani Tuban Akan Dilaporkan ke Perhutani Jatim

Terima Uang Perdamaian Ratusan Juta, Oknum Perhutani Tuban Akan Dilaporkan ke Perhutani Jatim

 

Oknum Perhutani usai terima uang perdamaian ratusan juta

Kabupaten Tuban -  Sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013, bahwa petugas  Perhutani tidak boleh lalai dan tidak boleh ada pembiaran terhadap pelanggaran dan kejahatan hutan. Jika undang -undang tidak dijalankan jelas ada sanksinya.

Saat ini, yang menjadi konsen Perhutani adalah membangun pola pikir masyarakat. Bagaimana pemanfaatan kawasan hutan itu supaya tetap Lestari.

Namun yang terjadi pada kasus pencurian kayu milik Perhutani yang dilakukan oleh 3 pelaku, para pelaku yang diamankan di wilayah pengelolaan hutan (KPH) Parengan ditangkap oleh Perhutani, kemudian pelaku di gelandang ke Polsek Parengan, dan selanjutnya dibawa ke Polres Tuban, Rabu (28/1/2025) malah dibebaskan. Parahnya pembebasan tersebut disertai uang perdamaian sebesar Rp. 100 juta lebih, yang di kemas melalui restorative justice.

Diketahui para pelaku, berinisal BD dan WR warga Desa Wukirharjo Kecamatan Parengan dan inisial IM warga Desa Tegalboro.

"Para pelaku sempat di tahan, namun ternyata para tersangka tiba-tiba sudah boleh pulang setelah proses mediasi atau terjadi uang damai dengan pihak Perhutani bekerjasama dengan pihak Polres Tuban dengan nominal sekitar Rp 100 juta lebih," ucap warga yang meminta namanya diinisialkan, Jum'at (7/2/2024).

Pencurian kayu Perhutani kenapa bisa diselesaikan dengan Restorative Justice, itu kan merupakan delik biasa bukan delik aduan?

"Dana uang perdamaian sebesar Rp. 100 juta lebih masuk kemana?, apakah masuk ke kas negara, atau masuk kekantong pribadi, jadi ini yang harus di ungkap sehingga permasalahan ini menjadi terang benderang," imbuhnya.

Pengertian Restorative Justice

Menurut Peraturan Kejaksaan, restorative justice adalah penyelesaian perkara pidana melalui dialog dan mediasi antara pelaku, korban, serta pihak terkait. Proses ini menekankan pemulihan hubungan antara para pihak yang terlibat. Selain itu, konsep ini juga melibatkan tokoh masyarakat untuk menciptakan penyelesaian yang adil dan berkeadilan sosial.

Restorative justice berupaya memperbaiki kerugian yang timbul akibat tindak pidana sambil meminta pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya. Proses ini memberikan ruang bagi korban untuk berpartisipasi aktif dan mendapatkan hak-haknya secara maksimal.

Keadilan restoratif juga berusaha memasukkan pihak yang terdampak langsung dari kejahatan dalam proses peradilan, sehingga korban diberdayakan untuk berpartisipasi lebih banyak dibandingkan sistem peradilan tradisional.

Beberapa Kasus yang Dapat Menggunakan Restorative Justice :

1. Tindak Pidana Ringan
Pendekatan ini diterapkan pada tindak pidana ringan seperti yang diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 407, dan 482 KUHP. Proses penyelesaian dilakukan melalui mediasi perdamaian tanpa mengabaikan aspek keadilan. Kerugian yang dialami korban sering kali diperhitungkan dalam proses mediasi ini.

2. Perkara Anak
Restorative justice juga berlaku bagi anak di bawah 18 tahun yang terlibat tindak pidana. Pendekatan ini bertujuan melindungi hak anak, baik sebagai pelaku maupun korban. Hakim diharapkan aktif mempromosikan keadilan restoratif dengan mendorong pihak-pihak terkait untuk mencapai kesepakatan damai.

3. Perempuan Berhadapan dengan Hukum
Perempuan yang menjadi korban atau terlibat dalam perkara hukum mendapatkan perlakuan khusus sesuai dengan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW). Pendekatan ini mengutamakan keadilan dan kesetaraan, termasuk memperhatikan dampak psikis dan fisik yang dialami korban.

4. Perkara Narkotika
Restorative justice diterapkan untuk pecandu narkotika yang tertangkap tangan dengan barang bukti penggunaan untuk satu hari. Proses ini dilakukan melalui mediasi dan rehabilitasi untuk menghindari hukuman penjara.

Syarat Pelaksanaan Restorative Justice

Pelaksanaan restorative justice membutuhkan pemenuhan beberapa syarat, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 6 Tahun 2019, yaitu:
  • Perkara bersifat ringan atau delik aduan.
  • Tidak menimbulkan konflik sosial atau keresahan masyarakat.
  • Pelaku dan korban bersedia berdamai.
  • Terdapat pernyataan tidak keberatan dari pihak korban.
  • Pelaku bukan residivis.
  • Korban mencabut laporan.
  • Proses mediasi melibatkan tokoh masyarakat atau pranata sosial setempat.
  • Penyelesaian dilakukan sesuai prosedur hukum jika ada pihak yang tidak puas.
  • Jika tindak pidana diulangi, penyelesaian dilakukan melalui jalur hukum yang berlaku.


Dirreskrimsus Polda Jatim, Kombes Pol Budi Hermanto, S.I.K., M.Si saat dilapori kasus tersebut menyampaikan, Makasih infonya, akan saya cek ke Kasat Reskrim dan Kapolres Tuban.

"Silahkan konfirmasi langsung pak, biar terang benderang," tegasnya (Bersambung).

Diketahui, pelaku pencurian kayu Perhutani dijerat Pasal 82 ayat (1) huruf b junto pasal 12 huruf b atau pasal 83 ayat (1) huruf b junto pasal 12 huruf e atau pasal 84 ayat (1) jo pasal 12 huruf f Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang Nomer 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Ancaman hukuman penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun (Red)

Post a Comment

أحدث أقدم